Pada bagian ini dikaji tentang pandangan teori humanistik
terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan
diarahkan pada hal-hal seperti, pengertian belajar menurut teori humanistik,
pandangan Kolb terhadap belajar, pandangan Honey dan Mumford terhadap belajar,
pandangan Habermas terhadap belajar dan pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap
belajar. Kajian diakhiri dengan memaparkan aplikasi teori humanistik dalam kegiatan
pembelajaran.
1.
Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih
mendekati pada teori kepribadian dan psikoterapi. Teori humanistik sangat
mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori
belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada
pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang
proses belajar sebagaimana adanya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori
belajar apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia
yaitu untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri
orang yang belajar secara optimal.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb
yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan “Pembagian
Macam-Macam Siswa”, Habermas dengan “Tiga Macam Tipe Belajar”, serta Bloom dan
Krathwohl dengan “Taksonomi Bloom”. Pandangan masing-masing tokoh terhadap
belajar dideskripsikan sebagai berikut:
2.
Pandangan Kolb terhadap Belajar
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi empat, yaitu:
a.
Tahap Pengalaman Konkrit
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang
mampu atau dapat mengalami suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat
dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang
dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa
tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum
dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum
dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kamamupan
inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses
belajar.
b.
Tahap Pengamatan Aktif dan Reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin
lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa
yang dilaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian
tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa
hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin
berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap
kedua dalam proses belajar.
c.
Tahap Konseptualisasi
Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah
mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep atau
hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berpikir
induktif banyak dilakukan untuk memuaskan suatu aturan umum atau generalisasi
dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang
diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama yang
dapat dijadikan dasar aturan bersama.
d.
Tahap Eksperimentasi Aktif
Tahap tarakhir dari peristiwa belajar adalah melakukan
eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu untuk
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan kedalam situasi
yang nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji
teori-teori serta konsep-konsep dilapangan. Ia mampu menggunakan teori atau
rumus-rumus untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
3.
Pandangan Honey dan Mumford terhadap Belajar
Honey dan Mumford menggolongkan orang yang belajar kedalam empat
macam golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflector, kelompok teoris dan
golongan pragmatis.
a.
Kelompok Aktivis
Orang-orang yang tergolong dalam kelompok aktivis adalah mereka
yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini
mudah untuk diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat
orang lain dan mudah percaya. Namun dalam melakukan tindakan sering kali kurang
mempertimbangkan secara matang dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya
untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada
hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru,
pengalaman baru. Namun mereka cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang
implementasinya memakan waktu lama.
b.
Kelompok Reflector
Dalam melakukan tindakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan
baik-buruk, untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan
sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga cenderung
bersifat konservatif.
c.
Kelompok Theorist
Orang-orang tipe theorist
memiliki kecenderungan yang sangat kritis. Mereka suka menganalisis, berpikir
rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu dikembalikan kepada
teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau
penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan memutuskan sesuatu kelompok
teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptif dan tidak menyukai hal-hal
yang bersifat spekulatif.
d.
Kelompok Pragmatis
Orang-orang tipe pragmatis memiliki sifat-sifat yang praktis.
Mereka tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep,
dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek
praktis. Sesuatu hanya bermanfaat jika dipraktikkan. Bagi mereka, sesuatu
adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat dalam kehidupan.
4.
Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah
lingkungan alam maupun lingkungan social, sebab antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tiga tipe balajar
menjadi tiga, yaitu : 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar
praktis (practical learning), 3) belajar emansipatoris (emancipatory learning).
a.
Belajar Teknis (Technical
Learning)
Yang dimaksud dengan belajar teknis adalah belajar bagaimana
seseorang dapat berinterkasi dengan lingkungan alamnya secara benar.
Pengetahuan dan ketrampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar
mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik.
b.
Belajar Praktis (Practical
Learning)
Yang dimaksud dengan belajar praktis adalah belajar bagaimana
seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan
orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar lebih mengutamakan
terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama manusia. Pemahaman dan
ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan
dengan kepentingan manusia pada umumnya. Interaksi yang benar antara individu
dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya
dengan kepentingan manusia.
c.
Belajar Emansipatoris (Emancipatory
Learning)
Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai
suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau
transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka
dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung
terjadinya transformasi kultur tersebut. Pemahaman dan kesadaran terhadap
transformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar
yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang
paling tinggi.
5.
Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar
Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum kedalam tiga
kawasan yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom ini telah membantu
para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai
dengan rumusan yang mudah dipahami. Setidaknya di Indonesia, Taksonomi Bloom
ini banyak dikenal dan paling popular di lingkungan pendidikan. Secara ringkas
ketiga kawasan dalam Taksonomi Bloom adalah sebagai berikut:
a.
Domain Kognitif, terdiri dari 6 tingkatan, yaitu:
1. Pengetahuan
(mengingat, menghafal)
2. Pemahaman
(menginterpretasikan)
3. Aplikasi
(menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4. Analisis
(menjabarkan suatu konsep)
5. Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6. Evaluasi
(membandingkan nilai-nilai, ide , metode)
b.
Domain Psikomotor, terdiri dari 5 tingkatan, yaitu:
1.
Peniruan (menirukan gerak)
2.
Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3.
Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4.
Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5.
Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c.
Domain Afektif, terdiri dari 5 tingkatan , yaitu:
1.
Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2.
Merespon (aktif berpartisipasi)
3.
Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai
tertentu)
4.
Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang
dipercayainya)
5.
Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola
hidupnya)
6. Aplikasi
Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Semua tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang
ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai
aktualisasi diri. Maka sangat perlu diperhatikan perkembangan peserta didik
dalam mengaktualisasikan dirinya serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan
karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan dalam
merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika
mempunyai pengertaian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan
secara bebas ke arah mana ia akan berkembang.
Teori
hmanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada
dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks
manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun
teori humanistic ini masih sukar untuk diterjemahkan kedalam langkah-langkah
pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbang teori ini sangat
besar. Ide-ide, konsep-konsep tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu
para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia.
Dalam
prakteknya teori humanistic ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada
pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistic,
namun paling tidak dapat dirumuskan langkah-langkah pembelajaran sebagai
berikut:
1. Menentukan
tujuan-tujuan pembelajaran
2. Menentukan
materi pembelajaran
3. Mengidentifikasikan
kemampuan awal siswa
4. Mengidentifikasi
topic-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secar aktif melibatkan diri dalam
atau mengalami dalam belajar
5. Merancang
fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
6. Membimbing
siswa belajar secara aktif
7. Membimbing
siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman belajarnya
8. Membimbing
siswa membuat konseptual pengalaman belajarnya
9. Membimbing
siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
10. Mengevaluasi
proses dan hasil belajar
DAFTAR
PUSTAKA
Asri
Budiningsih, 2002. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta .PT
Rineka Cipta.
Slavin,
R.E., 1991. Educational
Psychology. Third edition.
New York : Allyn & Bacon.