Pendidikan ku
sayang, pendidikanku malang.
Sekolah Bertaraf
Internasional atau lebih dikenal dengan SBI sedang naik daun di kalangan
masyarakat. Mutu sekolah SBI dianggap lebih baik, baik dari segi pengajaran,
bahasa, fasilitas, serta “besarnya biaya pendidikan”. Fasilitas lengkap serta
teknologi yang canggih menjadi salah satu ikon SBI. Penyampaian materi
menggunakan bahasa Internasional yaitu bahasa Inggris. Biaya sekolah yang harus
dibayar pada awal masuk pun terbilang fantastis, bahkan bisa lebih mahal
daripada biaya masuk Perguruan Tinggi Swasta. Saat ini bersekolah di SBI tidak
hanya memenuhi kebutuhan mendapatkan pendidikan, namun sudah bermetamorfosis
menjadi sebuah gengsi tersendiri.
Di Jepang,
sekolah bertaraf internasional tidak begitu populer. Banyak profesor dari
Jepang yang ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Suatu pertanyaan yang pasti
muncul di benak kita, bagaimana Jepang bisa seperti itu. Tidak perlu di ragukan
lagi jika Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang paling di segani.
Jepang terkenal akan Sumber daya Manusia serta teknologi yang tinggi. Bangsa
Jepang sadar bahwa negara mereka tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah,
oleh karena itu upaya yang bisa mereka lakukan adalah dengan menciptakan sumber
daya manusia yang tinggi sehingga mereka tetap bisa bersaing dengan negara lain
yang kaya akan sumber daya alam.
Pendidikan
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia di Jepang.
Pasca terpuruk dengan bom di Hiroshima dan Nagasaki, dua kalangan yang
mendapatkan prioritas dari pemerintah Jepang adalah Tenaga Kesehatan dan guru.
Negara Jepang sangat sadar bahwa pendidikan sangat penting untuk bangkit dan
menjadi negara yang kembali bisa bersaing.
Semula kita pasti
mengira bahwa sistem pengajaran di Jepang menggunakan bahasa Inggris sehingga
teknologi mereka berkembang sangat cepat karena akses informasi dunia saat ini
sebagian besar berbahasa inggris. Namun ternyata proses belajar mengajar di
Jepang menggunakan bahasa Jepang sendiri. Sekolah bertaraf Internasional yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kurang diminati di sana.
SBI hanya diminati oleh anak yang memang ingin melanjutkan studinya di Luar
negeri. Namun mengapa meskipun menggunakan bahasa Jepang, akses informasi
terbaru dari luar negeri di Jepang bisa sangat cepat? Di Jepang, sumber-sumber
informasi yang baru dari Luar negeri, seperti buku, jurnal, dan lain lain bisa
didapatkan dalam bahasa Jepang dalam waktu yang tidak lama. Misalnya, jika
suatu buku di USA dirilis tanggal 1, maka seminggu sesudahnya kita bisa membeli
buku yang sama namun dalam bahasa Jepang.
Di indonesia,
banyak SBI yang menawarkan berbahasa pengantar bahasa Inggris namun pada
kenyataannya pendidikan kita masih jauh di bawah Jepang yang menggunakan bahasa
Jepang. Kendala di Indonesia adalah sulit untuk memperoleh buku-buku ataupun
jurnal-jurnal terbaru dalam bahasa Indonesia. Jika di Jepang hanya butuh waktu
seminggu, mungkin di Indonesia bisa butuh waktu berbulan-bulan. Oleh karena
itu, memilki kemampuan berbahasa Inggris masih sangat diperlukan di Indonesia
jika tidak ingin tertinggal informasi terbaru di dunia. Selain itu, selama ini
impelementasi dari teori menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
juga masih hanya sekedar teori yang jarang di implementasikan. Masalah ini bisa
muncul dari pihak pendidik maupun dari pihak guru sendiri. Seorang guru yang
berusia lebih dari 40 tahun tentu sulit untuk belajar bahasa Inggris dalam
waktu yang singkat jika memang tidak memiliki background pernah tinggal di luar
negeri. Begitu juga dengan siswa, misalnya saja sejak SD hingga SMP mereka
biasa menggunakan bahasa Indonesia, tentu akan menjadi sulit jika begitu masuk
SMA mereka harus menggunakan bahasa Inggris dalam proses belajar mengajar
mengingat bahasa bukan sekedar teori matematika yang cukup dhafalkan dan
dimengerti saja. Belajar bahasa butuh waktu untuk berlatih dan terus berlatih
hingga menjadi terbiasa.
Iklim pendidikan
di Indonesia juga berbeda dengan di Jepang. Di Indonesia setiap awal tahun
ajaran baru para siswa berebut mendaftar di sekolah favorit meskipun letak
sekolah tersebut jauh dari rumah. Akibatnya persebaran kemampuan akademik siswa
tidak merata. Ada sekolah dengan kemampuan siswa yang sangat tinggi dan ada
pula sekolah dengan kemampuan siswa yang rendah. Dengan distribusi yang
demikian, penelitian pengembangan tentang keefektifan suatu metode, modul,
bahan ajar, maupun sarana pembelajaran yang lainnya menjadi bersifat spesifik
atau khusus untuk suatu sekolah. Hasil dari suatu penelitian tidak bisa
digeneralisasi dengan sekolah lain. Akibatnya penelitian pendidikan sulit
berkembang di Indonesia. Berbeda dengan di Jepang, sejak SD siswa bersekolah di
sekolah yang terdekat dengan rumahnya. Ketika siswa sudah mencapai kelas
tertentu, maka siswa tersebut harus berangkat sendiri ke sekolahnya, hal ini
melatih anak untuk menjadi lebih mandiri. Berbeda dengan di Indonesia yang
banyak anak bersekolah di SD dengan jarak puluhan kilometer dari rumahnya.
Tentu saja tidak mungkin siswa SD tersebut harus berangkat sekolah sendiri.
Persebaran kemampuan siswa juga lebih merata. Hampir semua sekolah di Jepang
memiliki rata-rata kemampuan siswa yang sama, sehingga ketika diadakan
pendataan kemampuan siswa di sekolah akan dihasilkan kurva normal, dimana jumlah
siswa yang kemampuan sangat rendah hanya
sedikit, lalu jumlahnya meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan siswa,
kemudian menurun lagi. Jumlah siswa yang memiliki kemampuan kurang sebanding
dengan siswa yang memiliki kemampuan lebih. Dengan demikian penerapan metode
pembelajaran, bahan ajar, strategi pembelajaran, maupun perangkat pembelajaran
yang lainnya bisa menghasilkan hasil yang sama antar satu sekolah dengan
sekolah yang lain.
Sudah saatnya
pendidikan di Indonesia kembali ke makna harfiah sebenarnya, mencari ilmu serta
pengalaman untuk bekal menjalani kehidupan. Pendidikan bukan sekedar gengsi
sekolah ataupun gengsi orang tua. Berapa banyak mahasiswa yang kuliah di
jurusan favorit “orang tua” atau jurusan favorit “teman-teman” mereka. Berapa banyak atlet berbakat kita yang
akhirnya menjadi sarjana teknik atau menjadi guru. Belajarlah di bidang yang
kalian minati dan kalian punya bakat besar di sana. Taukah anda berapa banyak
gaji seorang pemain bola internasional? Ibrahimovic dari PSG mendapatkan gaji
sebesar 2,8 Milyar per pekan, sebuah angka yang fantastis. Jika berbakat di
dunia olahraga, maka ambilah pendidikan di sekolah yang bisa mngembangkat bakat
olahraga yang dimiliki serta yang paling penting adalah membentuk mental juara,
semangat pantang menyerah dan tidak mudah putus asa untuk meraih prestasi yang
membanggakan negara. Mindset ada satu pekerjaan yang paling wah dibanding yang
lain harus mulai dihapus. Yang terpenting adalah bagaimana bermanfaatnya kita
untuk lingkungan sekitar kita serta totalitas kita dalam melaksanakan pekerjaan
yang kita cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar