Beberapa waktu yang lalu saya dikejutkan oleh berita
contek massal UAN di sebuah SD di Jawa Timur yang akhirnya satu keluarga harus
pindah rumah karena diusir warga. Si Anak ini memang paling pintar di kelasnya.
Gara2 melaporkan aksi contek massal yang terjadi waktu UAN si anak dan
keluarganya harus diusir warga dari tempat tinggalnya sendiri. Ironis memang,
saat kejujuran malah menjadikan kita semakin dikucilkan.
Setiap kali UAN dilaksanakan, baik di tingkat SD, SMP,
hingga SMA, berita di televisi selalu menyiarkan banyaknya kecurangan yang
terjadi, mulai dari bocornya soal, sms kunci jawaban, hingga aksi contek
massal. UAN telah dilaksanakan bertahun-tahun, dan masalah2 tersebut tetap saja
muncul sepanjang tahunnya. Aksi contek massal coba dikurangi oleh pemerintah
dengan cara menggunakan pengawas dengan sistem silang murni hingga menggunakan
4 tipe soal yang berbeda dalam 1 kelas. Namun kenyatannya hal ini tidak
efektif. Toh, kasus kecurangan yang muncul tiap tahunnya masih tinggi.
Sebenarnya apa yang salah dengan UAN di Indonesia??
UAN adalah Ujian akhir Nasional yang merupakan sarana
untuk menguji kurikulum yang diterapkan di sekolah apakah sudah dapat terlaksana
dengan baik atau tidak, dalam hal ini apakah standar kompetisi dari suatu
kurikulum sudah terpenuhi. Dulu waktu
saya masih SMA, saya merasa kalo UAN itu sedikit tidak adil, perjUANgan sekolah
3 tahun hanya ditentukan oleh 6X100 menit dalam kurun waktu 5 hari. Penilaian
hanya berdasarkan 6 lembar kertas yang telah dihitamkan bagian bulatan2
tertentu. Nasib saya waktu itu sangat bergantung pada pensil, penghapus, dan
mesin scanner yang semoga bisa berjalan baik dan tidak ada salah kunci atau
apapun. Ketika si mesin scanner ini menunjukkan nilai yang kita peroleh lebih
dari standar yang telah ditentukan, maka kita dinyatakan lulus, jika tidak,
tentu saja kita tidak lulus. Padahal kita tahu bahwa dalam penilaian, tidak
hanya aspek kognitifnya saja yang dinilai, ada faktor psikomotorik dan afektif.
Lalu bagaimana dengan nilai afektif dan psikomotorik kita???? Mungkin
pemerintah berbaik hati dengan hanya mensyaratkan satu nilai saja untuk UAN.
Hayoooo,, dulu pernah menyadarinya atau tidak??? Saya juga baru menyadarinya
waktu menulis artikel ini,haha
Sebenarnya nilai afektif dan psikomotorik kita juga ikut
dinilai, namun nilainya akan masuk dalam Nilai UAS. Temen2 tentu masih ingat
bukan bahwa jika nilai UAS kita kurang dari standar, maka kita bisa tidak
lulus, namun untuk UAN sendiri memang sepertinya nilai afektif dan psikomotor
sedikit di anak tirikan.
Mungkin kebaikan hati pemerintah ini yang membuat kita
semakin terjerumus dalam lubang hitam yang menyesatkan ini. Ketika nilai adalah
segalanya, ketika everything is only depend onthe value oriented, segala cara akan dilakukan
untuk mendapatkan suatu nilai. what will happen with our next generation?? Sekali lagi, muncul pertanyaan yang sama dalam
otak saya, sebenarnya apa yang salah dengan UAN di Indonesia??
Menurut saya, kasus ini seperti benang kusut yang sangat
sulit dicari ujung dan pangkalnya. Jika dilihat, siswa bisa saja disalahkan
karena jika mereka sudah belajar dengan baik selama 3 tahun tentu soal-soal
materi UAN bisa dikerjakan dengan baik bukan?? Standar nilai UAN dari pemerintah
juga masih jauh dibawah nilai standar ujian harian yang sekarang rata2 75.
Sayangnya banyak siswa kita yang masih suka belajar dengn sistem SKS, termasuk
saya sendiri,hehehe,..
Tapi siswa juga tidak mau disalahkan, mereka belajar 3
tahun Cuma ditentukan oleh UAN, lalu kerja keras si juara badminton tingkat
nasional atau juara olimpiade nasional yg gagal UAN gara2 salah menghitamkan
nomer jawaban bagaimana??? Belum lagi alasan bahwa guru A atau guru B dulu
ngajarnya tidak enak, jadi tidak paham.
Berart yang salah gurunya dong tidak bisa mnegkondisikan siswanya hingga
rajin belajar dan siap menghadapi UAN?? Belum tentu kawan. Guru kita sebenarnya
sudah mati2an menbuat kita mengerti materi yang diajarka dengan cara beliau.
Sebelum mengajar beliau menyusun RPP dan silabus lo, bahkan untuk RPP disusun
tiap pertemUAN yang isinya mulai dari tujUAN, materi, bahan ajar, metode,
evaluasi, dan kawan2nya (yang ini sepertinya mengandung sedikit curhat
ya,,hahaha). Materi yang diajarkan sangat banyak, sedangkan waktu pertemUAN
tatap muka hanya sedikit. Kurukulum kita tergolong cukup padat jika
dibandingkan dengan negara2 lain. So,, yang bikin kurikulum dong ini yang
salah?? Alias pemerintah yang salah?? Pemerintah ingin generasi kita menjadi
generasi yang sangat bagus. Padat tidaknya kurikulumm sebenarnya tidak begitu
masalah. Ketika siswa bisa memberikan respon positif pada materi si guru, maka
proses KBM bisa berjalan lancar. Lo kan,, jadi kembali ke siswa lagi.
YA mungkin untuk membuat lurus kembali benang yang sudah
kusut adalah dengan memotong salah satu bagian sehingga kita bisa mendapatkn
salah satu ujungnya. Mungkin jika setiap siswa bisa menilai diri mereka sendiri
secara objectif, maka kasus kecuraangan2 bisa dihindari. Kebanyakan siswa di
Indonesi sudah kehilangan jati dirinya. Mereka tidak menjadi apa yg mereka
inginkan, tapi apa yang orangtua mereka inginkan. Teringat sebuah guyonan
seorang teman saya waktu kuliah. Saat itu dosen saya bilang, jangan Cuma
berharap dapat nilai saja, materi juga penting. Teman saya bilang, ya
masalahnya kalo kita pulang kampung, yang ditanyakan bukan sudah dapat materi
apa saja?? Pasti yang ditanyakan dapat IP berapa?? Bagaimana otak kita secara
tidak langsung sudah terprogram bahwa nilai itu segalanya, maksudnya baik sih,
untuk membahagiakan orang tua. Kadang2 orang tua itu memang kurang mengerti
dengan keadaan kita, prestasi bagus, IP cumlaude, adalah hal yg sangat penting.
Padahal tentu saja sebenarnya kita sudah jatuh bangun berusaha untuk dapat
nilai yg terbaik meskipun orang tua teerkadang masih kurang puas dengan apa yg
kita dapat. Sebenarnya orangtua kita juga tidak salah, mereka ingin kita
mendapatkan nilai yg bagus agar masa depan kita setidaknya nampak lebih cerah.
Banyak sarjana cumlaude yg pengangguran, apalagi yg IPnya pas pasan?? Padahal
segala sesuatu itu mempunya jalannya masing2. Jalan yg bagus untuk si A belum
tentu cocok untuk si B.
Mungkin disini saya memberikan saran untuk orang tua yang
tentu lebih dewasa daripada anak2nya, yang lebih bisa berfikir secara jernih.
Jadilah orang tua yang selalu nmendukung anak anda ketika mereka terjatuh.
Jadlah tempat dimana Anak merasa damai ketka mereka mulai kehilangan rasa
percaya diri mereka. Bangun kepercayaan diri mereka. Ketika mereka gagal
yakinkan bahwa ada banyak jalan yang bisa ditempuh... so mulai ubah budaya ini
dari anda.
Untuk temen2 yang masih sekolah, masih ingatkah Apa yg
anda rasakan ketika kali pertama anda mendapatkan nilai buruk?? Masih ingatkah
anda ketika waktu pertama kali anda mnecontek atau ngerepek?? Ya itulah nurani kita semua. Sebelum nurani itu mati,
mungkin lebih baik kita memupuknya dan menumbuhkannya kembali, Mencotek itu
bukan hal wajar. Jika terus dibiasakan, maka mencontek akan benar2 menjadi
budaya kita, yang akhirnya menjadi sebuah kecurangan kecil yang tumbuh menjadi
bibit, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Semoga saya, anda, dan kita semua masih berada di jalan
yang benar, bukan di jalan yang sudah mengalami pembenaran.
Terima kasih penjelasannya tentang dilema UAN yang cukup lengkap ini. Salam kenal...
BalasHapussalam kenal mbak, terima kasih atas kunjungannya :)
Hapus