Rabu, 21 Agustus 2013

Dilema UAN

Beberapa waktu yang lalu saya dikejutkan oleh berita contek massal UAN di sebuah SD di Jawa Timur yang akhirnya satu keluarga harus pindah rumah karena diusir warga. Si Anak ini memang paling pintar di kelasnya. Gara2 melaporkan aksi contek massal yang terjadi waktu UAN si anak dan keluarganya harus diusir warga dari tempat tinggalnya sendiri. Ironis memang, saat kejujuran malah menjadikan kita semakin dikucilkan.

Setiap kali UAN dilaksanakan, baik di tingkat SD, SMP, hingga SMA, berita di televisi selalu menyiarkan banyaknya kecurangan yang terjadi, mulai dari bocornya soal, sms kunci jawaban, hingga aksi contek massal. UAN telah dilaksanakan bertahun-tahun, dan masalah2 tersebut tetap saja muncul sepanjang tahunnya. Aksi contek massal coba dikurangi oleh pemerintah dengan cara menggunakan pengawas dengan sistem silang murni hingga menggunakan 4 tipe soal yang berbeda dalam 1 kelas. Namun kenyatannya hal ini tidak efektif. Toh, kasus kecurangan yang muncul tiap tahunnya masih tinggi.
Sebenarnya apa yang salah dengan UAN di Indonesia??

UAN adalah Ujian akhir Nasional yang merupakan sarana untuk menguji kurikulum yang diterapkan di sekolah apakah sudah dapat terlaksana dengan baik atau tidak, dalam hal ini apakah standar kompetisi dari suatu kurikulum sudah terpenuhi.  Dulu waktu saya masih SMA, saya merasa kalo UAN itu sedikit tidak adil, perjUANgan sekolah 3 tahun hanya ditentukan oleh 6X100 menit dalam kurun waktu 5 hari. Penilaian hanya berdasarkan 6 lembar kertas yang telah dihitamkan bagian bulatan2 tertentu. Nasib saya waktu itu sangat bergantung pada pensil, penghapus, dan mesin scanner yang semoga bisa berjalan baik dan tidak ada salah kunci atau apapun. Ketika si mesin scanner ini menunjukkan nilai yang kita peroleh lebih dari standar yang telah ditentukan, maka kita dinyatakan lulus, jika tidak, tentu saja kita tidak lulus. Padahal kita tahu bahwa dalam penilaian, tidak hanya aspek kognitifnya saja yang dinilai, ada faktor psikomotorik dan afektif. Lalu bagaimana dengan nilai afektif dan psikomotorik kita???? Mungkin pemerintah berbaik hati dengan hanya mensyaratkan satu nilai saja untuk UAN. Hayoooo,, dulu pernah menyadarinya atau tidak??? Saya juga baru menyadarinya waktu menulis artikel ini,haha

Sebenarnya nilai afektif dan psikomotorik kita juga ikut dinilai, namun nilainya akan masuk dalam Nilai UAS. Temen2 tentu masih ingat bukan bahwa jika nilai UAS kita kurang dari standar, maka kita bisa tidak lulus, namun untuk UAN sendiri memang sepertinya nilai afektif dan psikomotor sedikit di anak tirikan.
Mungkin kebaikan hati pemerintah ini yang membuat kita semakin terjerumus dalam lubang hitam yang menyesatkan ini. Ketika nilai adalah segalanya, ketika everything is only depend onthe  value oriented, segala cara akan dilakukan untuk mendapatkan suatu nilai. what will happen with our next generation??  Sekali lagi, muncul pertanyaan yang sama dalam otak saya, sebenarnya apa yang salah dengan UAN di Indonesia??
Menurut saya, kasus ini seperti benang kusut yang sangat sulit dicari ujung dan pangkalnya. Jika dilihat, siswa bisa saja disalahkan karena jika mereka sudah belajar dengan baik selama 3 tahun tentu soal-soal materi UAN bisa dikerjakan dengan baik bukan?? Standar nilai UAN dari pemerintah juga masih jauh dibawah nilai standar ujian harian yang sekarang rata2 75. Sayangnya banyak siswa kita yang masih suka belajar dengn sistem SKS, termasuk saya sendiri,hehehe,..

Tapi siswa juga tidak mau disalahkan, mereka belajar 3 tahun Cuma ditentukan oleh UAN, lalu kerja keras si juara badminton tingkat nasional atau juara olimpiade nasional yg gagal UAN gara2 salah menghitamkan nomer jawaban bagaimana??? Belum lagi alasan bahwa guru A atau guru B dulu ngajarnya tidak enak, jadi tidak paham.  Berart yang salah gurunya dong tidak bisa mnegkondisikan siswanya hingga rajin belajar dan siap menghadapi UAN?? Belum tentu kawan. Guru kita sebenarnya sudah mati2an menbuat kita mengerti materi yang diajarka dengan cara beliau. Sebelum mengajar beliau menyusun RPP dan silabus lo, bahkan untuk RPP disusun tiap pertemUAN yang isinya mulai dari tujUAN, materi, bahan ajar, metode, evaluasi, dan kawan2nya (yang ini sepertinya mengandung sedikit curhat ya,,hahaha). Materi yang diajarkan sangat banyak, sedangkan waktu pertemUAN tatap muka hanya sedikit. Kurukulum kita tergolong cukup padat jika dibandingkan dengan negara2 lain. So,, yang bikin kurikulum dong ini yang salah?? Alias pemerintah yang salah?? Pemerintah ingin generasi kita menjadi generasi yang sangat bagus. Padat tidaknya kurikulumm sebenarnya tidak begitu masalah. Ketika siswa bisa memberikan respon positif pada materi si guru, maka proses KBM bisa berjalan lancar. Lo kan,, jadi kembali ke siswa lagi.

YA mungkin untuk membuat lurus kembali benang yang sudah kusut adalah dengan memotong salah satu bagian sehingga kita bisa mendapatkn salah satu ujungnya. Mungkin jika setiap siswa bisa menilai diri mereka sendiri secara objectif, maka kasus kecuraangan2 bisa dihindari. Kebanyakan siswa di Indonesi sudah kehilangan jati dirinya. Mereka tidak menjadi apa yg mereka inginkan, tapi apa yang orangtua mereka inginkan. Teringat sebuah guyonan seorang teman saya waktu kuliah. Saat itu dosen saya bilang, jangan Cuma berharap dapat nilai saja, materi juga penting. Teman saya bilang, ya masalahnya kalo kita pulang kampung, yang ditanyakan bukan sudah dapat materi apa saja?? Pasti yang ditanyakan dapat IP berapa?? Bagaimana otak kita secara tidak langsung sudah terprogram bahwa nilai itu segalanya, maksudnya baik sih, untuk membahagiakan orang tua. Kadang2 orang tua itu memang kurang mengerti dengan keadaan kita, prestasi bagus, IP cumlaude, adalah hal yg sangat penting. Padahal tentu saja sebenarnya kita sudah jatuh bangun berusaha untuk dapat nilai yg terbaik meskipun orang tua teerkadang masih kurang puas dengan apa yg kita dapat. Sebenarnya orangtua kita juga tidak salah, mereka ingin kita mendapatkan nilai yg bagus agar masa depan kita setidaknya nampak lebih cerah. Banyak sarjana cumlaude yg pengangguran, apalagi yg IPnya pas pasan?? Padahal segala sesuatu itu mempunya jalannya masing2. Jalan yg bagus untuk si A belum tentu cocok untuk si B.

Mungkin disini saya memberikan saran untuk orang tua yang tentu lebih dewasa daripada anak2nya, yang lebih bisa berfikir secara jernih. Jadilah orang tua yang selalu nmendukung anak anda ketika mereka terjatuh. Jadlah tempat dimana Anak merasa damai ketka mereka mulai kehilangan rasa percaya diri mereka. Bangun kepercayaan diri mereka. Ketika mereka gagal yakinkan bahwa ada banyak jalan yang bisa ditempuh... so mulai ubah budaya ini dari anda.

Untuk temen2 yang masih sekolah, masih ingatkah Apa yg anda rasakan ketika kali pertama anda mendapatkan nilai buruk?? Masih ingatkah anda ketika waktu pertama kali anda mnecontek atau ngerepek?? Ya itulah  nurani kita semua. Sebelum nurani itu mati, mungkin lebih baik kita memupuknya dan menumbuhkannya kembali, Mencotek itu bukan hal wajar. Jika terus dibiasakan, maka mencontek akan benar2 menjadi budaya kita, yang akhirnya menjadi sebuah kecurangan kecil yang tumbuh menjadi bibit, korupsi, kolusi dan nepotisme.


Semoga saya, anda, dan kita semua masih berada di jalan yang benar, bukan di jalan yang sudah mengalami pembenaran.

2 komentar: