Rabu, 17 Oktober 2012

Sharing + beberapa tips buat yang akan memulai studi doktoral


Barusan saya ngecek email,, ini ada email yang sangat bagus dari suatu milis. bukan bermaksud memadamkan semangat kawan2 semua, tapi ini saatnya untuk mempersiapkan diri dengan lebih :) extra.
Semoga nanti kita tidak perlu shock dengan kondisi-kondisi seperti ini , good luck semuanya :)

Dari: Daisy Irawan 

Saya pernah bercakap-cakap dengan teman yang bekerja sebagai psikolog di international student office di suatu universitas di Australia.  Menurut beliau, kasus attempt to suicide di kalangan international students yang studi doktoral ini lumayan tinggi jika dibandingkan local student .  Masalahnya: mulai dari keuangan (beasiswa tidak mencukupi, terlambat atau diputus), sampai ke cross-culture and expectation misunderstanding dengan supervisor mereka.  

Soal beasiswa terlambat, mungkin sulit kita kendalikan.  Tetapi teman-teman yang berniat studi di LN, sebaiknya mulai mencari informasi yang sejelas-jelasnya mengenai harapan dirinya sendiri, supervisornya, dan tentang perbedaan budaya ini.  Pihak Dikti yang menyediakan banyak sekali beasiswa, juga harus mulai memperhatikan hal ini, dan mempersiapkan mahasiswa Indonesia dengan sebaik-baiknya sebelum studi.

Satu hal yang saya tahu, di Indonesia, kita bisa riset sesuai dengan keinginan kita, dan kecepatan kita.  Tetapi di banyak negara maju, PhD student adalah 'pegawai' profesor/research center/universitas.  Sebagai pegawai, kebebasan yang kita miliki tidak seluas di Indonesia.  Ekspektasi terhadap kinerja kita, juga bisa sangat tinggi.  Apalagi jika profesornya dikejar deadline untuk menyelesaikan proyek dan menghasilkan paten.  Ada profesor yang baik, dan sangat suportif.  Tetapi ada juga jenis profesor yang tidak punya cukup dana penelitian untuk membeli bahan kimia/membiayai penelitiannya, tetapi inginnya beraneka ragam.  

Ada juga profesor yang tipenya adventurer dan proyektor sejati, sehinga mahasiswanya diminta mengerjakan beraneka eksperimen di luar proposal penelitian yang disepakati bersama, sampai kehabisan waktu untuk mengerjakan penelitiannya sendiri.  Susahnya, mahasiswa Asia biasanya rajin, dan cenderung sulit berkata tidak.  Ketika ybs harus mempertanggung jawabkan penelitiannya, baru kelabakan karena tidak punya data yang cukup untuk dirinya sendiri... Ada banyak kasus, mahasiswa seperti ini punya justru seabrek data sampingan, tetapi semuanya bersifat 'confidential' karena eksperimennya merupakan pesanan suatu industri kepada sang profesor.  

Kejadian lain, banyak mahasiswa internasional yang kelabakan karena school/laboratoriumnya tiba-tiba ditutup, profesornya pindah/dipensiun dini karena dianggap tidak bisa mendatangkan cukup dana untuk universitas.  Ini kondisi sangat sulit, apalagi bagi yang berangkat dengan status 'tugas belajar' sehingga tidak bisa dengan mudah pindah ke lain jurusan dan menambah masa studi.  Kasus sang profesor berselisih dengan profesor yang lain, sehingga akses mahasiswa yang bersangkutan untuk bekerja di suatu lab/menggunakan alat tertentu terhambat juga sangat banyak.  Pada posisi ini, mahasiswa internasional seringkali benar-benar stuck, tidak bisa berbuat apa-apa.  Apalagi jika yang bermasalah adalah head of department, atau atasan profesor yang bersangkutan.  Kasus mahasiswa yang harus pindah ke profesor lain, dan mulai riset dari awal, karena profesor pertamanya karena suatu kasus tiba-tiba terkena gangguan jiwa berat juga ada.  Hal seperti ini kan benar-benar kejadian tak terduga, dan tentu saja tidak diharapkan siapapun juga apalagi kalau masa beasiswanya sudah hampir habis.

Bukannya menakut-nakuti teman2 yang sedang mencari beasiswa.  Tetapi sebaiknya kita menyiapkan mental untuk menghadapi hal-hal tersebut, dan tidak dengan mudah menghakimi orang lain yang terpaksa terhenti studinya karena permasalahan-permasalahan yang sudah di luar kendali teman tersebut.

Daisy Irawan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar